BANDA ACEH – Mahasiswi Magister Pengelolaan Lingkungan Unsyiah Gadis kelahiran Pidie Jaya, 31 Desember 1990, ini bernama Cut Ervida Diana. Ia merupakan satu di antara aktivis lingkungan yang sekarang fokus pada pelestarian satwa liar di Sumatera. Cut Ervida turut berperan aktif dalam mengampanyekan perlindungan terhadap Gajah dan Harimau Sumatera dari kepunahan.
Berbagai kegiatan ia lakukan bersama teman-temannya untuk memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa Harimau Sumatera saat ini terancam punah. Kegiatan itu antara lain dilakukan melalui kampanye dan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Cut Ervida melakukan hal tersebut semata-mata untuk tetap menjaga bumi sebagai ‘rumah satu-satunya’ yang nyaman untuk ditempati hingga ke anak cucu.
“Kita berkampanye untuk melindungi Harimau Sumatera dari kepunahan. Sebenarnya, Harimau Sumatera sekarang terancam punah. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Kita yang tinggal di kota memang jauh dari hutan, tapi kita masih bergantung pada hutan, dan harimau rumahnya di sana (hutan-red). Ketika hutan hancur, harimau juga punah. Kita enggak dapat lagi suplai air dan udara bersih, jadi ada korelasinya,” jelas Cut Ervida yang juga Konsultan WWF Indonesia Northern Sumatera.
Menjalani pekerjaan itu, tentu menyimpan kisah tersendiri bagi mahasiswi Magister Jurusan Pengelolaan Lingkungan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh ini. Meski belum pernah bertemu langsung dengan harimau, tapi ia memiliki pengalaman tersendiri ketika berhadapan dengan gajah liar yang berjarak 50 meter dari dirinya. Perasaan deg-degan dan excited menjadi satu dengan situasi tersebut.
Cut Ervida mengaku saat itu ia sedang turun ke lapangan untuk meninjau konflik antara gajah dan manusia di wilayah Aceh Tengah. “Saya deg-degan tapi excited juga, karena hal seperti itu jarang-jarang terjadi, enggak banyak orang bisa bertemu gajah liar di hutan, dan saat itu kondisi saya aman. Itu pengalaman yang seru tapi menegangkan karena dia (gajah-red) liar jadi kita enggak bisa salah-salah (gerak-gerik-red). Sebab gajah punya insting yang tinggi,” tutur Cut Ervida.
Meski demikian, hobi sekaligus menjadi pekerjaannya saat ini sudah dijalani hampir sembilan tahun oleh gadis yang dikenal ramah ini. Bermula pada tahun 2010, ia bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan kemudian dipercayakan menjadi Koordinator Sahabat Walhi. Hal itu membuatnya makin tertarik dengan berbagai isu tentang lingkungan.
Sebelumnya, Cut juga pernah belajar tentang pembangunan berkelanjutan, sehingga membuka wawasannya tentang keberlanjutan apa saja yang harus dijaga untuk generasi ke depan. “Saat itu saya dan teman-teman join dulu dengan menjadi volunteer komunitas. Kemudian dapat kesempatan menjadi Koordinator Sahabat Walhi. Memang senang ya, dan ini passion saya juga, meski latar belakang S1 saya di Pendidikan Bahasa Inggris dan enggak ada ke arah lingkungan,” sebutnya.
Meski begitu, Cut terus menambah wawasan tentang lingkungan, salah satunya dengan mempelajari tentang pembangunan berkelanjutan yang membuatnya menyadari jika manusia hanya punya satu bumi sebagai ‘rumah satu-satunya’ untuk ditempati yang harus dijaga dengan sebaiknya. Kepedulian Cut terhadap lingkungan juga mengantarkannya bisa belajar lebih lanjut ke negeri Paman Sam, tepatnya melalui program Fellowship Young Southeast Asian Leader Initiative (YSEALI) selama tiga minggu di Amerika Serikat pada 2014.
Kesempatan menimba ilmu di Amerika, sambung Cut, berawal dari pembuatan video dokumenter tentang lingkungan yang dikerjakan bersama temannya di Pulau Bunta. Film itu terkait kerusakan terumbu karang akibat pengeboman ikan di pulau yang terisolir dan tak berpenghuni itu. “Kejadian itu akhirnya tervisualkan melalui video dokumenter yang dapat dilihat banyak orang dan pemerintah. Dari situlah, saya punya kesempatan untuk belajar lebih lanjut di Amerika,” tuturnya.
Selama berada di Amerika, Cut Ervida melihat bagaimana mekanisme pengelolaan limbah, dan menghasilkan energi listrik dari sampah. Sepulang dari AS, ia dan teman-temannya tergerak untuk membuat satu project tingkat Asia yang diikuti oleh delegasi Indonesia, Filipina, dan Malaysia, tentang pengurangan sampah plastik menggunakan tas belanja.
“Jadi, kampanye yang kami lakukan saat itu secara massif, dan hingga kini masih terus berlanjut. Selain terus berkampanye terhadap pengurangan sampah plastik, saya juga sekarang fokus kampanye menjaga pelestarian satwa yang dilindungi seperti gajah dan harimau,” kata Cut Ervida Diana yang menyelesaikan pendidikan S1-nya di dua universitas yaitu S1 Pendidikan Bahasa Inggris Unsyiah, dan S1 Jurusan Hukum Keluarga Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
No responses yet